BAB I
PENDAHULUAN
•
Pengertian Kehujjahan Hadits
Yang
dimaksud dengan kehujahan Hadits (hujjiyah hadits) adalah keadaan Hadits yang
wajib dijadikan hujah atau dasar hukum (al-dalil al-syar’i), sama dengan
Al-Qur’an dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukkannya. Menurut
Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Ushul Al-Fiqh Al-Islami, orang yang pertama
kali berpegang dengan dalil-dalil ini diluar ‘ijma adalah Imam Asy-Syafi’I (w.
204 H) dalam kitabnya Ar-Risalah dan Al-Umm.
Kehujahan hadits sebagai dalil
syara’ telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’iy yang menuturkan tentang
kenabian Mohammad saw. Selain itu, keabsahan hadits sebagai dalil juga
ditunjukkan oleh nash-nash qath’iy yang menyatakan, bahwa beliau saw tidak
menyampaikan sesuatu (dalam konteks syariat) kecuali berdasarkan wahyu yang
telah diwahyukan. Semua peringatan beliau saw adalah wahyu yang diwahyukan.
Oleh karena itu, hadits adalah wahyu dari Allah swt, dari sisi maknanya saja,
tidak lafadznya. Hadits adalah dalil syariat tak ubahnya dengan al-Quran. Tidak
ada perbedaan antara al-Quran dan Hadits dari sisi wajibnya seorang Muslim
mengambilnya sebagai dalil syariat.
Di dalam al-Qur'an sendiri kita dapati perintah-perintah, akan tetapi tidak
disertakan bagaimana pelaksanaannya, seperti misalnya perintah shalat, puasa
dan sebagainya. Dalam hal yang demikian ini tidak lain kita harus melihat
kepada hadits.
Bukankah Allah telah berfirman di dalam al-Qur'an:
"Dan Kami menurunkan kepada kamu adz-dzikr, agar engkau menjelaskan kepada
manusia tentang apa yang telah diturunkan kepada mereka." (an-Nahl: 44)
Jika sekiranya, hadits itu bukan merupakan hujah dan tidak pula merupakan
penjelasan atas al-Qur'an, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan,
bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di
dalam al-Qur'an.
Sabda Nabi SAW :
"Ingat! Bahwa saya diberi al-Quran dan yang seperti al-Quran
(Hadits)." (H.R. Abu Daud)
Karena itu, hadits, baik ia menjelaskan al-Qur'an atau berupa penetapan sesuatu
hukum, umat Islam wajib mentaatinya.
Apabila kita teliti, hadits terhadap al-Qur'an, dapat berupa menetapkan dan
mengokohkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam al-Qur'an, atau berupa
penjelasan terhadap al-Qur'an, menafsiri serta memperincinya, atau juga
menetapkan sesuatu hukumyang tidak terdapat di dalam al-Qur'an.
Hal
ini juga dikemukakan oleh Imam asy-Syafi'i di dalam ar-Risalahnya.
Jika sekiranya, hadits itu bukan merupakan hujah dan tidak pula merupakan
penjelasan atas al-Qur'an, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan,
bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di
dalam al-Qur'an.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dalil Kehujjahan Hadist
Ada beberapa dalil yang menunjukan atas kehujjahan
hadist dijadikan sebagai sumber hukum Islam, yaitu sebagai berikut:
1.
Dalil Al-Qur’an.
Banyak
sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang yang memerintahkan untuk patuh kepada rasul dan
mengikuti sunnahnya. Perintah patuh kepada rasul berarti perintah mengikuti
sunnah sebagai hujjah, diantaranya adalah:
a.
Surah An-Nisa’:136
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada
Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya ..............................”
b.
Surah Ali-Imran: 32
Artinya: “Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan
Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang kafir."
c.
Surah At-Taghaabun: 12
Artinya: “Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada
Rasul-Nya, jika kamu berpaling sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah
menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.”
Beberapa
ayat diatas menunjukan bahwa kita diperintahkan untuk ta’at kepada Allah dan
mengikuti Rasulnya. Manusia tidak mungkin bisa mengikuti jejak Rasul tanpa
mengetahui sunnahnya.
2.
Dalil hadis.
Hadis yang
dijadikan sebagai hujjah juga sangat banyak sekali, diantaranya adalah sebagai
berikut:
a.
“Aku tinggalkan pada kalain dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama
berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Alllah dan
sunnahku.” (HR. Al-Hakim dan Malik)
b.
Saat Rasulullah SAW hendak mengutus Mu’az bin jabal untuk menjadi penguasa di
Yaman, terlebih dahulu dia diajak dialog oleh Rasulullah SAW:
Rasull bertanya: “Bagaimana kamu menetapkan hukum
bila dihadapkan kepadamu sesuatu yang memerlukan penetapan hukum?”
Mu’az menjawab: “Saya akan menetapkan dengan kitab
Allah SWT,” lalu Rasull bertanya: “Seandainya kamu tidak
mendapatkanya dalam kitab Allah?”
Mu’az menjawab: “Dengan sunnah Rasulullah,”
Rasull bertanya lagi: “Seandainya kamu tidak
mendapatkanya dalam kitab Allah juga dalam sunnah Rasulullah?”
Mu’az menjawab: “Saya akan berijtihad dengan
pendapat saya sendiri.” Maka Rasulullah menepuk-nepuk belakang Mu’az seraya
mengatakan “Segala puji bagi Allah yang telah menyelaraskan urusan seorang
Rasull dengan sesuatu yang Rasull kehendaki.” (HR. Abu Daud dan
Al-Tarmidzi)
c.
“Wajib bagi sekalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah khulafa
ar-sasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpagang tegulah kamu sekalian
denganya.” (HR. Abu Daud dan Ibn Majah)
Hadist-hadist
diatas menjelaskan kepada kita bahwa seseorang tidak akan tersesat selamanya
apabila hidupnya berpegang teguh atau berpedoman pada Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Orang yang tidak berpegang teguh akan keduanya berarti tergolong kepada orang
yang sesat. Nabi tidak pernah memerintahkan kecuali dengan diperintah Allah,
dan siapa yang taat kepada Nabi berarti ia taat kepada zat yang memerintahkan
kepadanya untuk melaksanakan perintah itu.
B. Perdebatan Seputar
Kehujjahan Hadist.
1.
Gerakan
Ingkar Sunnah
Dewasa ini banyak orang atau golongan yang bermunculan
yang berupaya mendasari sumber ajaran Islam itu semata-mata hanya kepada
Al-qur’an. Sedangkan untuk sunnah/ hadist mereka tidak menempatkanya sebagai
sumber ajaran agama Islam. Karena menurut mereka sunnah baru ada setelah 200
tahun sesudah Nabi wafat.
Orang-orang atau golongan ini terkenal dengan istilah
ingkar sunnah, yaitu suatu paham yang timbul dari sebagian kecil kaum muslimin.
Secara umum mereka melakukan ini hanya untuk mencari kepopuleran dalam
masyarakat Islam.
Aliran-aliran ingkar sunnah dapat dikategorikan
menjadi tiga bagian, yaitu:
a.
Ingkar sunnah mutlaq, yaitu mengingkari sunnah secara seluruhnya.
b.
Ingkar sunnah Ba’dh As-sunnah, yaitu mengingkari sebagian dari sunnah.
c.
Ingkar sunnah Bigharit Tariqi, yaitu mengingkari sunnah yang sanadnya tidak
memenuhi dengan syarat-syarat yang mereka gariskan.
Pada umumnya alasan-alasan para pengingkar sunnah
adalah sebagai berikut:
a.
Menurut mereka, tugas Rasul adalah menyampaikan isi kandungan Al-qur’an/ wahyu
dari Allah SWT yang telah diturunkan kepadanya, bukan menerangkan ayat-ayat
Al-qur’an yang akan menimbulkan hukum-hukum baru.
b.
Menurut mereka Al-qur’an adalah firman yang telah lengkap isinya dan tidak
diragukan lagi kandunganya, yang juga terdapat keterangan ayat yang kurang
jelas, maka tidak dibutuhkan lagi sunnah untuk memperjelasnya.
Ditambah
lagi, mereka menjadikan ayat-ayat berikut sebagai alasan keingkaran terhadap
sunnah:
-
“..............Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang
lebih benar perkataannya dari pada Allah ?” (QS. An-Nisa’: 122)
-
“...............Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab[472],
kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”(QS. Al-A’am: 38)
-
“...................Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89)
Dr. Ahmad Zaki dalam bukunya “Tsaurah Al Islam”
mengatakan bahwa, hadist itu adalah suatu kedustaan, terutama bagi
perawi-perawinya. Karena hadist itu adalah hal yang dibuat-buat oleh manusia
setelah 200 tahun kematian Nabi.
Ahmad Dien
adalah seorang guru disekolah Islam Amritsan, dia memiliki pemikiran yang
sangat cemerlang dalam mengkaji agama. Namun, ia hanya merujuk pada Al-qur’an
semata sebagai satu-satunya dasar ajaran agama Islam. Baginya hadist
bukanlah hujjah dalam agama, karna itu umat tidak boleh berpegang pada sunnah
sebagai sumber ajaran agama Islam.
Sedangkan
menurut Ahmad khan, salah satu ahli Qur’an, menyatakan bahwa para ulama sangat
ceroboh dan salah dalam penyaringan terhadap sanad dan matan hadist. Hadist
yang dapat dijadikan sebagi hujjah adalah hadist yang diriwayatkan secara
mutawatir, yang harus ada kesaksian bahwa kata-kata dalam riwayat yang
mengandung kebenaran dan kepastian dari Rasull. Selain hadist yang dapat
memenuhi syarat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.
2.
Pembelaan Terhadap Sunnah Sebagai Sumber Ajaran Islam
Menurut Imam
malik ibn Anas, Al-qur’an itu adalah pokok hukum syari’at, pegangan umat Islam
yang secara rinci menerima penjelasan dari sunnah. Al-qur’an menjelaskan syar’i
secara kulit, sedangkan sunnah menjelaskan hukum-hukumnya secara terperinci.
Kita memerlukan sunnah bukan karena dia adalah sebagi sumber hukum kedua, tapi karena
dia menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an yang mujmal.
Imam Syafi’i
memandang Al-qur’an dan sunnah berada dalam satu martabat, bahkan baginya hanya
keduanyalah yang menjadi sumber hukum Islam. Ia dengan tegas membantah kaum
khawarij yang menolak kehujjahan sunnah. Sedangkan pandanganya terhadap hadist
ahad, ia menyatakan bahwa hadist ini tidak bisa dijadikan hujjah.
Menurut Imam
Hambali, barang siapa menolak hadist maka ia itu telah berada diatas jurang
kehancuran. Ia mengatakan lagi bahwa:
-
Rasulullah SAW adalah penafsir Al-qur’an, tidak boleh seorangpun menafsirkan
Al-qur’an tanpa sunnah rasulullah SAW.
-
Tafsir sahabat harus kita terima dalam menafsirkan Al-quran apabila tidak
menemukan dalam sunnah, karena sahabat lebih memahami sunnah Nabi terutama
tentang nuzulul Qur’an dan penjelasanya.
C. Hubungan Dan Fungsi Hadist
Terhadap Al-Qur’an.
Al-qur’an dan hadist sebagai pedoman hidup, sumber
hukum dan ajaran dalam Islam, antara yang satu dengan yang lainya tidak dapat
dipisahkan. Al-qur’an sebagai sumber ajaran utama yang memuat ajaran-ajaran
yang bersifat umum. Oleh karena itu, kehadiran hadist sebagai sumber ajaran
kedua tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi Al-qur’an tersebut. Sesuai
firman Allah SWT:
Artinya: “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan
kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.”(QS. An-Nahl:44)
Allah SWT menurunkan Al-qur’an agar dapat dipahami oleh
manusia, maka Rasul di perintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara
melaksanakan ajaranya kepada mereka melalui hadis-hadisnya.
Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian
banyak ulama beraneka ragam, diantaranya:
Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam
bukunya Al-Sunnah Fi Makanatiha Wa Fi Tarikhiha menulis bahwa sunnah
mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Qur’an dan fungsi sehubungan dengan
pembinaan hukum syara’. Abdul Halim Mahmud menegaskan bahwa, dalam kaitannya
dengan Al-Qur’an, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak di perselisihkan, yaitu
sebagai bayan Ta’kid dan bayan Tafsir.
Imam malik bin Annas, menyebutkan ada lima macam
fungsi hadist terhadapm Al-qur’an, yaitu: Bayan Al-Taqrir, Bayan Al-Tafsir,
Bayan Al-Tafshil, Bayan Al-Ba’ts, Bayan Al-Tasyri’. Sedangkan imam Syafi’i
menyebutkan ada lima fungsi yaitu: Bayan Al-Tafshil, Bayan At-Takhshish, Bayan
Al-Ta’yin, Bayan Al-Tasyri’, Bayan Al-Nasakh.
1.
Bayan Al-Taqrir.
Yang
dimaksud dengan bayan ini adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah
diterangkan dalam Al-qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkokoh isi
kandungan Al-qur’an. Contoh :
“Apabila
kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah)
itu maka berbukalah.” (HR. Muslim)
Hadist ini mentaqrirkan surah
Al-baqarah: 185
Artinya:
“..................... Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu,...................” (QS. Al-Baqarah:185)
2.
Bayan Al-Tafsir.
Yang
dimagsud bayan al-Tafsir adalah hadist berfungsi untuk memberi penjelasan
secara rinci terhadap ayat-ayat Al-qur’an yang masih bersifat global (mujmal),
memberikan batasan(taqyid) ayat-ayat Al-qur’an yang bersifat mutlak, dan
mengkhususkan(takhsish) ayat-ayat Al-qur’an yang bersifat umum.
a.
Menjelaskan secara rinci terhadap ayat Al-qur’an:
“Shalatlah sebagaimana engkau
melihat aku shalat” (HR. Bukhari)
Hadist ini menjelaskan bagaimana mendirikan
shalat. Sebab dalam Al-qur’an tidak menjelaskan secara rinci tentang mendirikan
shalat. Salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah:
“Dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang
ruku'.”(Al-Baqarah:43)
b.
Memberi batasan terhadap ayat Al-qur’an:
“Rasulullah SAW didatangi seseorang
dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan
tangan.”
Hadist ini menberi batasan terhadap ayat:
“Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.” (QS.
Al-Maidah:38)
c.
Mengkhususkan keumuman ayat Al-qur’an:
“Kami kelompok para nabi tidak
meninggalkan harta waris, apa yang kami tinggalkan adalah sebagai sedekah.
Hadis ini mengkhususkan Ayat:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama
dengan bagahian dua orang anak perempuan ..................” (QS.
An-Nisa’: 11)
BAB III
PENUTUP
•
Kesimpulan
-
Hadits yang wajib dijadikan hujah atau dasar hukum (al-dalil al-syar’i), sama
dengan Al-Qur’an dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukkannya.
- Al-qur’an
dan hadist sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam, antara
yang satu dengan yang lainya tidak dapat dipisahkan
- Al-qur’an
itu adalah pokok hukum syari’at, pegangan umat Islam yang secara rinci menerima
penjelasan dari sunnah
DAFTAR PUSTAKA
-Suparta Munzier, 2002, Ilmu Hadis, Edisi Pertama, Cetakan Ketiga, PT Raja Grafindo
Persada, Kelapa Gading Permai, Jakarta
-Majid Khon
Abdul, 2008, Ulumu Hadis, Edisi
Pertama, Cetakan Pertama, PT Amzah, Jakarta
-Djunied Daniel, 2002, Paradigma Baru Studi
Ilmu Hadis; Rekontruksi Fiqh Al-Hadis, Cetakan Pertama, PT Citra Karya,
Banda Aceh
-Rahman Zufran, 1995, Kajian Sunnah Nabi SAW
Sebagai Sumber Hukum Islam, cetakan pertama, PT Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta
pusat